Partai Komunis Cina Hendak Membungkam Islam?
Sejak mukadimahnya, artikel panjang yang ditayangkan tempo.co pada
24 September 2018 langsung menulis bahwa pemerintah Cina, khususnya
di wilayah barat laut (xibei) yang menjadi mastautin utama 10 etnis minoritas
penganut Islam di negara yang sejak 1949 dipimpin Partai Komunis Cina (PKC)
itu, telah “dengan sistematis ... mengekang muslim untuk beribadah, mulai dari
pembongkaran kubah masjid sampai melarang praktik Islam.”
“Pembatasan yang mereka hadapi sekarang,” tulis tempo.co,
“dapat ditelusuri hingga tahun 2015, ketika Xi Jinping [sebagai Sekjen PKC]
pertama kali mengangkat masalah tentang apa yang ia sebut ‘Sinoisasi Islam’
dengan mengatakan semua agama harus tunduk pada budaya Cina dan Partai
Komunis.” Alasannya, PKC khawatir “kepatuhan terhadap kepercayaan muslim dapat
berubah menjadi ekstremisme agama dan pembangkangan terbuka terhadap
aturannya.”
Makanya, masih menurut tempo.co, pada April 2018 PKC
mengeluarkan arahan bertajuk “Memperkuat dan Meningkatkan Pekerjaan Islam dalam
Situasi Baru” yang diklasifikasikan sebagai dokumen rahasia selama 20 tahun.
Isinya berupa pelbagai larangan terkait Islam. Di antaranya: peringatan
perlunya pencegahan wabah “Arabisasi” pada beragam aspek keislaman di Cina.
Intinya, meminjam judul yang dipakai tempo.co, “Ada
Arahan dari Partai Komunis Cina Bungkam Pengaruh Islam”.
Namun, benarkah PKC hendak membungkam pengaruh Islam yang
sudah mengakar di negaranya sejak era Dinasti Tang di abad ke-7? Ada beberapa
hal yang perlu dijernihkan.
Pertama, akan sangat problematis jika kita masih memandang
permasalahan keagamaan di Cina selepas kewafatan Mao Zedong, menggunakan apa
yang oleh Xi Jinping sebut sebagai leng zhan siwei, mentalitas perang
dingin. Yakni mentalitas yang, gampangnya, menganggap negara yang berideologi
komunisme sudah barang tentu selamanya berada dalam hubungan diametral dan
karenanya pasti antipati terhadap agama –wabil khusus Islam.
Bahwa sepanjang satu dekade Revolusi Kebudayaan (wenhua da
geming) di bawah komando Mao Zedong telah terjadi vandalisme dan persekusi
massal membabi buta terhadap rumah-rumah ibadah dan tokoh-tokoh agama tanpa
terkecuali di Cina, adalah benar adanya. Bila D.N. Aidit mengecap yang disebut
belakangan sebagai “setan-setan desa”, maka pengawal merah (hong weibing) yang
taklid buta pada pemikiran Mao Zedong (Mao Zedong sixiang) merundung mereka
sebagai salah satu dari “hantu sapi dewa ular” (niu gui she shen) yang wajib
disapu bersih sebab berpotensi melanggengkan feodalisme. Demikian difatwakan
tajuk rencana Harian Rakyat (Renmin Ribao), koran milik PKC, edisi 1 Juni 1966,
yang menandai dimulainya Revolusi Kebudayaan.
Walakin, sesudah kematian Ketua Mao pada September 1976 dan
Deng Xiaoping yang beberapa kali digencet Mao selama masa-masa kalut Revolusi
Kebudayaan (1966–1976) kembali bisa memangku kekuasaan, PKC menggelar tobat
nasuhah mengakui sekaligus menyesali kesalahan-kesalahan keagamaan yang
diperbuatnya itu dengan dikeluarkannya dokumen khusus yang masyhur disebut
sebagai Dokumen Nomor 19 (Shijiu Hao Wenjian) pada Maret 1982.
Rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi pun dilakukan.
Tak heran, jumlah masjid di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang yang pada 1984 cuma
berkisar 9 ribu, melonjak menjadi sekitar 24 ribu lengkap dengan 29 ribu
imamnya, jika merujuk Buku Putih Kondisi Kebebasan Keagamaan Xinjiang (Xinjiang
de Zongjiao Xinyang Ziyou Zhuangkuang) yang dirilis Dewan Negara Cina pada Juni
2016. Selama sewindu dari 1982 sampai 1990, menurut makalah David A. Palmer
yang terhimpun dalam buku Handbook of Contemporary China yang
dieditori William S. Tay dan Alvin Y. So, populasi muslim bersuku Hui
juga menanjak 19 persen.
PKC menegaskan, sebagaimana termaktub di bagian 4 Dokumen
Nomor 19, “Menghormati dan melindungi kebebasan keagamaan adalah kebijakan
fundamental partai. Ini adalah kebijakan jangka panjang, adalah kebijakan yang
akan diejawantahkan dengan teguh dan sungguh-sungguh” sebab ini adalah
“satu-satunya kebijakan keagamaan yang benar serta sesuai dengan kepentingan
rakyat.”
Karena itu, lanjut PKC, “perbuatan apa pun yang memaksa
yang tidak beragama untuk beragama, adalah sama halnya dengan memaksa yang
beragama untuk tidak beragama, [itu] semua melanggar kebebasan keagamaan orang
lain, dan karenanya adalah kesalahan fatal sekaligus mutlak tidak
diperbolehkan.” Hingga kini, belum ada bukti konkret yang dapat menunjukkan
PKC telah ingkar terhadap komitmennya yang akan menjamin kebebasaan keagamaan
rakyatnya tersebut.
Komentar
Posting Komentar